Indojabar News — Banyak pihak mempertanyakan independensi Mahkamah Konstitusi (MK) dan integritas para hakimnya. Reaksi itu muncul setelah MK mengabulkan sebagian gugatan batas usia capres/cawapres di bawah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Keputusan tersebut dianggap merusak marwah lembaga tinggi negara dan merendahkan nilai-nilai demokrasi.
“Semestinya sejak sidang pembukaan, MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materiil batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional dan bukan urusan MK,” kata Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi dalam webinar Moya Institute bertajuk “MK: Benteng Konstitusi?”, Selasa (17/10).
Baca Juga : Nafsu Kekuasaan : Konstitusi di Akali
Dalam diskusi yang sama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof DR Abdul Muti, menduga ada skenario di balik keputusan MK yang mengambil jalan tengah soal batas usia capres-cawapres di bawah 40 tahun, yakni dengan syarat berpengalaman sebagai kepala daerah.
“Keputusan MK itu begitu kasat mata dan menggunakan skenario yang akan bisa ditebak. Jadi secara personal, saya tidak begitu kaget,” jelas Abdul Muti.
Sementara itu, Direktur Eksekutif SMRC, Sirojudin Abbas justru memandang putusan MK tersebut menjadi kunci pembuka perangkap gerbang antireformasi bagi Presiden Joko Widodo.
Baca Juga : Begini Kritik Presiden Mahasiswa BEM REMA UPI Pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Yang membuatnya khawatir, perangkap ini dimasuki oleh Presiden Joko Widodo karena terlalu membuka diri dan telah mengakui akan ikut cawe-cawe di Pilpres 2024. Apalagi, putusan MK ini dikait-kaitkan dengan hasrat meloloskan putranya, Gibran Rakabuming Raka bertarung di Pilpres 2024.
“Saat ini beliau belum masuk ke dalam perangkap, tetapi ini justru perdebatan yang harus kita eksplorasi lebih jauh ke publik. Apakah presiden akan benar-benar masuk perangkap dengan membiarkan Gibran maju sebagai cawapres?” Demikian Pungkasnya Sirojudin