Indojabar News — Badan Koordinasi HMI Jawa Barat mempertanyakan integritas KPU Jawa Barat menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
Dalam hal ini, Badko HMI melalui Bidang Politik dan Demokrasi berharap KPU Jabar bisa belajar dari problem rumit yang telah terjadi.
“Terutama berkaitan teknis dan tata kelola manajemen pada saat pemilihan umum sebelumnya agar bisa lebih baik lagi saat pemilihan kepala daerah saat ini,” ujar perwakilan Bidang Politik dan Demokrasi Badko HMI Jabar, Nizar Adhari, Jumat (7/11/2024).
*Badko HMI Jabar Soroti Isu Netralitas ASN*
Badko HMI Jabar, kata Nizar, pertama turut menyoroti isu keterlibatan ASN dalam kegiatan kampanye.
Selama berjalannya Pemilihan Umum 2024, tercatat 417 laporan soal pelanggaran netralitas ASN, 197 diantaranya terbukti melanggar dan telah mendapatkan rekomendasi sanksi, sebagaimana mengacu Siaran Pers Komisi Aparatur Sipil Negara, 23 Februari 2024.
Nizar menambahkan, sebanyak 40 persen dari total kasus, pelanggaran terjadi di media sosial.
“Terdapat indikasi dukungan terbuka kepada calon tertentu di media sosial, hingga penyalahgunaan wewenang untuk memobilisasi dukungan,” katanya.
Masih menurut siaran pers KASN pada 6 Februari 2024, jumlah pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada sebelumnya di tahun 2020 yang mencapai 2.034 ASN yang dilaporkan dan 1.597 di antaranya terbukti melanggar netralitas.
Sementara itu, Bawaslu Kabupaten Majalengka telah menangani 11 kasus dugaan pelanggaran pemilu pada Pilkada 2024.
Mayoritas terlapor dari 11 kasus yang ditanganinya itu adalah kepala desa (Kades) dan aparatur sipil negara (ASN).
Sedangkan Bawaslu Jabar turut menindaklanjuti kasus dugaan pelanggaran kampanye di Pilkada serentak 2024.
Tercatat ada 14 kasus pelanggaran yang ditangani dimana dua di antaranya sudah diproses ke kepolisian.
Bawaslu Jabar telah melakukan pengawasan terhadap 102.624 kegiatan kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
Dari total kegiatan kampanye itu, Bawaslu menangani 70 kasus dugaan pelanggaran yang terjadi selama masa kampanye yang dimulai pada per 25 September hingga 20 Oktober 2024.
Praktik-praktik seperti ini, lanjut Nizar, bukan hanya melanggar undang-undang. Melainkan juga mempengaruhi integritas ASN dan sistem pemilu itu sendiri.
“Netralitas ASN dalam pemilu bukan hanya sebatas kewajiban, tetapi juga upaya menjaga demokrasi yang sehat di Indonesia,” tegasnya
Antisipasi Penggelembungan Suara
Antisipasi penggelembungan suara juga, kata Nizar, menjadi isu kedua yang disoroti oleh Badko HMI Jabar.
“Kami di bidang Politik dan Demokrasi menyoroti kurangnya transparansi dalam penghitungan suara dari evaluasi pemilihan umum yang jangan sampai terulang pada saat pilkada,” ungkapnya.
Proses yang dilakukan di tingkat lokal, yang melibatkan penghitungan manual dan distribusi hasil, dinilai tidak cukup terbuka bagi masyarakat.
Beberapa pihak mengkhawatirkan adanya potensi manipulasi atau kesalahan yang tidak terdeteksi.
“Penghitungan suara yang tidak melibatkan masyarakat atau saksi dari masing-masing pasangan calon akan sangat berisiko, jangan sampai ada pergeseran suara atau intervensi dari pihak manapun terhadap penyelenggara pemilu di tingkat bawah untuk menguntungkan salah satu calon dan mencoreng demokrasi yang sedang berlangsung,” terang Nizar.
Menurutnya, isu penggelembungan suara kembali mencuat sebagai perhatian serius bagi penyelenggara pemilu, pengawas, dan masyarakat.
“Penggelembungan suara, atau penambahan suara secara ilegal, adalah praktik manipulasi yang mencederai proses demokrasi dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap hasil pemilu,” katanya.
Dalam beberapa pemilu sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah menemukan sejumlah indikasi penggelembungan suara di beberapa daerah.
“Temuan ini melibatkan berbagai modus operasi seperti penambahan jumlah suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) tertentu, manipulasi data saat rekapitulasi, hingga praktik pencoblosan ganda. Untuk mencegah kejadian serupa di pemilihan mendatang,” katanya.
Nizar menduga adanya tekanan politik di beberapa daerah, terutama terhadap panitia pemilu di tingkat lokal.
“Netralitas penyelenggara pemilu adalah fondasi utama dalam mewujudkan pemilu yang kredibel,” ucapnya.
Lemahnya Fungsi SIREKAP
Badko HMI Jabar selanjutnya menyinggung isu ketiga, terkait penggunaan teknologi dalam pemilu dan pemilihan.
“Sistem informasi yang digunakan oleh KPU, seperti SIREKAP, sering kali mengalami gangguan teknis dan tidak dapat memberikan hasil secara cepat dan akurat,” tutur Nizar.
Hal ini menambah ketidakpastian bagi publik yang ingin segera mengetahui hasil Pilkada.
Ia menilai dalam prosesnya masih ditemukan permasalahan pada SIREKAP yang membuat rekapitulasi berjenjang berlangsung lama.
Saat pemilihan umum berkali-kali SIREKAP mengalami server down sehingga harus menunggu beberapa saat dalam proses pilkada kali ini.
“SIREKAP harus mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan menjadi solusi dalam proses Pilkada setelah banyak kekurangan sebelumnya dalam proses pemilu,” jelasnya.
Di tingkat pusat, tambah Nizar, kebijakan SIREKAP yang buka tutup justru semakin jauh dari asas transparansi dan akuntabilitas.
Secara terpisah, Ketua Umum Badko HMI Jabar, Siti Nurhayati menambahkan bahwa sejumlah isu yang tengah disoroti oleh pihaknya menjadi pertimbangan bagi integritas dan peran KPU Jawa Barat.
Ke depan, lanjutnya, problematika rumit yang terjadi perlu ditindaklanjuti oleh pihak bersangkutan.
“Terutama yang berkaitan teknis dan tata kelola manajemen pemilu. Kami akan mengawal keseriusan KPU Jabar untuk melakukan evaluasi secara komprehensif,” terangnya.
Sehingga dalam proses Pilkada kali ini tidak terulang kembali, kemudian dengan adanya integritas seluruh elemen bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
“Transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan Pilkada harus berjalan sesuai dengan aturan dan prinsip-prinsip demokrasi,” tegasnya.